Industri Teh Indonesia

Industri Teh Indonesia

Industri Teh Indonesia – Indonesia secara historis telah menjadi produsen teh utama dan juga konsumen berskala besar. Industri teh Indonesia menghadapi sejumlah kendala dari tanaman yang menua hingga perubahan iklim yang telah menyebabkan produktivitas yang lebih rendah serta profitabilitas yang buruk yang telah mendorong banyak petani untuk beralih ke komoditas lain. arena itu, ada permintaan yang meningkat untuk teh dalam beberapa tahun terakhir, terutama dari industri hilir domestik, yang harus berperan dalam mendukung industri teh Indonesia untuk mendapatkan kembali kejayaan masa lalunya. Karena kesalahan manajemen dan kurangnya investasi baru, sektor teh negara ini telah mengalami kemunduran sejak awal tahun 2000-an yang ditandai oleh penurunan produksi.

Industri Teh Indonesia

Produksi menurun, permintaan meningkat

Indonesia memiliki sejarah panjang budidaya teh yang dapat ditelusuri kembali ke era kolonial Belanda. Sayangnya, karena kesalahan manajemen dan kurangnya investasi baru, sektor teh negara ini telah mengalami kemunduran sejak awal 2000-an yang ditandai oleh penurunan produksi.

Berdasarkan data statistik perkebunan dari 2014, Indonesia memiliki total perkebunan teh seluas 121.034 hektar. Provinsi Jawa Barat memiliki area perkebunan teh terbanyak dengan total 89.978 hektar atau sekitar 73% dari total area teh nasional dan memasok sekitar 70% dari produksi teh negara. Sebagian besar perkebunan ini dimiliki oleh petani kecil (50,96%), diikuti oleh perkebunan milik negara (25,80%) dan perkebunan swasta (23,24%). Daerah penghasil teh lainnya di negara ini adalah Jawa Tengah dan Sumatera Utara. https://beachclean.net/

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian, Indonesia belum mampu mengejar ketinggalan dengan negara-negara penghasil teh lainnya dalam hal produksi, terutama India dan Sri Lanka, selama dekade terakhir. India dan Sri Lanka masing-masing menghasilkan rata-rata 1 juta dan 329.000 ton teh hitam per tahun dengan pertumbuhan tahunan masing-masing 1,2% dan 2,5%. Sementara itu, Indonesia hanya menghasilkan rata-rata 147.000 ton per tahun dengan penurunan tahunan sebesar 1,7%.

Asosiasi Teh Indonesia (ATI) mencatat bahwa produksi teh Indonesia negara tersebut telah menurun sejak tahun 2001 karena pengurangan bertahap pada area yang ditanami pada tingkat 1.113 hektar per tahun. Pada 2005, misalnya, Indonesia memproduksi 166.000 ton teh hitam. Sepuluh tahun kemudian, angka itu turun menjadi 130.000 ton. Ini hanya 2,5% dari produksi teh global yang setara dengan 5,2 juta ton. Akibatnya, Indonesia kini hanya berada di peringkat ke 7 di antara sepuluh negara pengekspor teh global; di bawah Sri Lanka, Kenya, Cina, India, Vietnam, dan Argentina.

Sementara itu, permintaan dunia akan teh tumbuh pada tingkat rata-rata 0,6% per tahun. Pada 2015, negara-negara penghasil teh mengekspor 1,75 juta ton atau 34% dari total panen mereka. Indonesia menyumbang sekitar 70.000 ton atau 4% ke pasar ekspor teh dunia yang menghasilkan pendapatan valuta asing sekitar 2 triliun rupiah per tahun. Sebagian besar teh yang diekspor adalah dalam bentuk bubuk. Hanya sekitar 6% yang diekspor dalam bentuk produk olahan. Negara tujuan ekspor utama negara itu adalah Malaysia, Inggris, Rusia, dan Pakistan, diikuti oleh Amerika Serikat, Jerman, United Arab Emirates, Ukraina, Belanda, dan Polandia.

Mayoritas teh yang diekspor ke luar negeri adalah daun teh berkualitas tinggi, oleh karena itu hanya menyisakan daun teh berkualitas sedang hingga rendah untuk pasar domestik. Telah ada peningkatan permintaan dari pasar domestik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama dari industri minuman di mana minuman teh kemasan yang siap saji telah cukup populer di kalangan anak muda di negara itu. Menurut ATI, total penjualan produk teh olahan dalam negeri mencapai rata-rata Rp10 miliar setiap tahun yang lima kali lebih tinggi dari ekspor.

Tantangan dan persaingan yang lebih ketat

Salah satu kendala utama yang menghambat pertumbuhan industri teh di Indonesia adalah penurunan produksi. Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa petani kecil, yang merupakan mayoritas pemilik perkebunan teh di Indonesia, menganggap bisnis teh tidak lagi menguntungkan. Akibatnya, banyak petani teh beralih ke tanaman lain seperti minyak kelapa sawit.

Menurut Departemen Pertanian, mayoritas tanaman teh Indonesia sudah tua dan dalam kondisi buruk. Tingkat produktivitas rata-rata untuk teh hanya 900 kilogram / hektar, jauh di bawah angka ideal 2.500 kilogram per hektar. Selain itu, kepemilikan tanah rata-rata setiap petani relatif rendah yaitu hanya 0,6 hektar.

Kurangnya sumber daya manusia yang terampil dengan pengetahuan praktik pertanian terbaik serta teknologi telah menghasilkan produk berkualitas rendah. Itu sebabnya harga teh Indonesia, terutama dari perkebunan kecil, lebih murah. Misalnya, harga teh rata-rata di tiga lokasi lelang (Kolombo, Kolkata, Mombasa) pada 2015 adalah $ 2,70 USD per kg. Sebaliknya, harga rata-rata teh Indonesia di KBP Nusantara pada tahun yang sama adalah sekitar $ 1,50 – $ 1,70 USD per kg.

Harga teh Indonesia lebih rendah karena sebagian besar produk teh dijual tanpa merek; Selain itu, curah hujan intensitas tinggi juga mengurangi rasa dan kualitasnya. Yang paling penting, beberapa produk teh di negara itu memiliki tingkat antrakuinon yang tinggi yang dianggap sebagai masalah di pasar Eropa.

Tantangan lain yang berkontribusi terhadap penurunan produksi teh Indonesia adalah cuaca dan perubahan iklim. Telah terjadi peningkatan suhu di daerah penghasil teh, termasuk di Puncak, Bogor, Jawa Barat, karena perubahan iklim. Suhu ideal untuk budidaya teh adalah 25 ° C. Setiap kenaikan suhu 1 ° C mengurangi tingkat produksi teh sebesar 5%.

Selain itu, kenaikan upah tenaga kerja dan biaya logistik; semakin mengurangi daya saing industri teh Indonesia. Ini digunakan oleh Vietnam dan Sri Lanka, dua pesaing utama di pasar teh internasional, untuk memanfaatkan pangsa pasar Indonesia di berbagai pasar ekspor. Yang pertama bahkan melangkah lebih jauh dengan mengekspor teh ke Indonesia dan bersaing head-to-head dengan produsen teh lokal. Vietnam memiliki keunggulan karena sebagai negara ASEAN dibebaskan dari bea impor

Peningkatan dukungan pemerintah diperlukan

Sejak 2013, Kementerian Pertanian telah mengalokasikan anggaran tahunan untuk merevitalisasi perkebunan teh domestik melalui program intensifikasi dan rehabilitasi seperti distribusi benih dan pupuk. Menurut Dewan Teh Indonesia, total anggaran yang dialokasikan untuk program dalam dua tahun terakhir mencapai Rp90 miliar untuk 3.000 hektar di sepuluh kabupaten.

Namun, banyak produsen teh menganggap anggaran itu terlalu rendah dibandingkan dengan yang dialokasikan untuk petani kakao. Lagi pula, pemerintah nasional lain, seperti di Cina, Kenya, Sri Lanka, dan Vietnam, telah bermurah hati dalam mendukung pemilik perkebunan teh lokal mereka yang telah memungkinkan mereka untuk lebih bersaing di pasar global.

Produsen teh lokal Indonesia juga mengharapkan pemerintah untuk memberikan lebih banyak dukungan dan menyelesaikan berbagai masalah yang menghambat industri, termasuk tingkat antrakuinon teh lokal yang tinggi. Hingga saat ini, alasan di balik masalah ini belum ditentukan untuk melihat apakah root terletak pada pemrosesan atau dalam prosedur pengemasan.

Prospek ke depan tetap cerah

Meskipun banyak kendala, prospek industri teh Indonesia tetap cerah. Konsumsi teh di Indonesia diproyeksikan akan tumbuh hampir 3% per tahun selama dekade berikutnya. Banyak perkiraan menunjukkan bahwa masa depan industri teh negara itu terletak di pasar domestik dan bukan di pasar ekspor. Produsen teh lokal di Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi pasar ini, meskipun memiliki populasi lebih dari 250 juta orang.

Industri Teh Indonesia1

Selain itu, konsumsi teh Indonesia per kapita masih rendah, yang memberi banyak ruang untuk tumbuh. Pada 2014, misalnya, penduduk Indonesia hanya mengonsumsi rata-rata 0,32 kilogram teh per kapita. Ini lebih rendah dari rata-rata global 0,57 kilogram dan jauh di bawah konsumen teh utama seperti Inggris dan Turki yang masing-masing mengonsumsi 2 kilogram dan 7,54 kilogram teh per kapita.

Indonesia dengan demikian memiliki kesempatan untuk menghidupkan kembali industri yang telah lama terabaikan dan mengambil keuntungan dari pasar lokalnya yang memiliki kecenderungan alami terhadap produk-produk rasa teh dan teh. Branding dan pengemasan terus menjadi area kritis di mana negara ini gagal dan berada di belakang kurangnya produk teh Indonesia yang bermerek yang berarti petani dan konsumen kehilangan peluang signifikan yang merupakan bagian dari warisan Indonesia.